Gelap. Remang.
Kemudian terang. Sesaat mengaburkan mata. Detik berikutnya aku melihat sesosok
bayangan menghampiri. Bayangan yang semakin mendekat semakin mengutuh. Seseorang
dengan wajah samar melangkah memegang tanganku. Aku terkesiap. Sesuatu merambati
hati. Seperti disiram air es. Apa yang ia
lakukan? Segera aku mengangkat wajah dan mataku tertumbuk pada sepasang
mata. Aku terpaku. Kemudian gelap lagi.
Nyanyian awan menjatuhkan
tetes-tetes air dari langit. Jatuh ke bumi dengan tanpa beban. Bulir itu jatuh
di tanah seperti nyanyian yang tiada hentinya. Mengalun lembut mensesapi sisa
malam yang segera berganti pagi. Menyegarkan alam dan membangunkan rumah-rumah
yang terlelap. Kabut masih menggenggam pagi yang dingin itu. Gerimis masih mau
berlama-lama menyirami alam dengan basahnya.
Aku terbangun.
Refleks untuk terus menyelimuti seluruh tubuh tanpa secuil pun kulit yang
terbuka. Tapi entah mengapa hatiku terasa hangat. Seperti tercelup dalam kolam
cinta yang memesona. Tak digubrisnya dingin pagi yang membekukan sendi dan
tulang. Walaupun gigi geligi bergemelutukkan dengan selimut tersampir
membungkus tubuh karena kedinginan, setidaknya aku masih merasa hangat, disini,
di hati. Mengapa aku terbangun dalam
keadaan hati seperti ini? Mungkin mimpi. Ya, apalagi kalau bukan karena mimpi? Penasaran, aku mengulang
memori, mencari yang berserakan. Rasanya seperti lupa ingatan sesaat.
Mungkin wajahku
lucu kalau engkau lihat aku sekarang. Senyum mengembang malu-malu seperti anak
menengah pertama yang pertama kali merasakan jatuh cinta. Atau mungkin engkau
malu melihatku karena aku tak istimewa, tak sepadan, memalukan. Atau mungkin
engkau hanya merasa mendapati satu lagi pengagum rahasia dan memasukkannya
dalam daftar tolak mu.
No comments:
Post a Comment