imhappyforyou

Saturday, March 5, 2011

Aurora

Ksatria jatuh cinta pada Puteri bungsu dari Kerajaan Bidadari.
Sang Puteri naik ke langit.

Ksatria kebingungan.
Ksatria pintar naik kuda dan bermain pedang, tapi tidak tahu caranya terbang.
Ksatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada kupu-kupu.
Tetapi Kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon.
Ksatria lalu belajar pada burung gereja.
Burung Gereja hanya mampu mengajarinya sampai ke atas menara.
Ksatria kemudian berguru pada burung elang.
Burung Elang hanya mampu membawanya ke puncak gunung.
Tak ada unggas bersayap yang mampu terbang lebih tinggi lagi.


Ksatria sedih, tapi tak putus asa. Ksatria memohon pada angin.
Angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi. Lebih tinggi dari gunung dan awan.
Namun sang Puteri masih jauh di awang-awang, dan tak ada angin yang mampu menusuk langit.
Ksatria sedih dan kali ini putus asa.


Sampai satu malam ada Bintang Jatuh yang berhenti mendengar tangis dukanya.
Ia menawari Ksatria untuk mampu melesat secepat cahaya.
Melesat lebih cepat dari kilat dan setinggi sejuta langit dijadikan satu.
Namun kalau Ksatria tak mampu mendarat tepat di Puterinya maka ia akan mati.
Hancur dalam kecepatan yang membahayakan, menjadi serbuk yang membedaki langit, dan tamat.
Ksatria setuju. Ia relakan seluruh kepercayaannya pada Bintang Jatuh menjadi sebuah nyawa.
Dan ia relakan nyawa itu bergantung hanya pada serpih detik yang mematikan.
Bintang Jatuh menggenggam tangannya.
“Inilah perjalanan cinta sejati,” ia berbisik, “tutuplah matamu, Ksatria. Katakan untuk berhenti begitu hatimu merasakan keberadaannya.”


Friday, March 4, 2011

Selamat 17 Tahun

Posting-an kali ini saya cukup copy-paste dari sebuah surat kiriman seseorang di masa lalu.
Here we go!

Selamat 17 Tahun.
            Soalnya kalo bilang met ultah udah telat yaa... Semoga apa yang kamu inginkan, kamu cita2kan, kamu impikan (yang ingin terjadi tentunya, bukan nightmare) walaupun di siang bolong, dan impian kamu, semoga terwujud, terlaksana, terkabul dan kamu dapat memilikinya. Amiin.
            Sory, kertas  kadonya udah jelek. Saya lupa kehabisan kertas. Dan gak ada lagi. Sory yaaa...
            Sory juga kalo hadiah ini gak berkenan di hati kamu. Mungkin kamu dah punya atau lagi gak pengen hadiah buku.
            Sory kalo banyak bikin kamu kesel dengan hadiah ini (Duh, banyak sory nya, sekali lagi sory).
Daah, semoga bukunya rame!!!!

That’s it.

Sengaja saya nggak menambahkan atau mengurangi apapun isi dalam surat itu di sini. Malah saya pingin nge-scan tulisan tangannya—tapi... Any way, kalian tahu saya dikasih apa? Hadiahnya adalah sebuah buku yang dulu saya pingin sekali membelinya. Beberapa bulan sebelum itu, waktu jalan-jalan di Gramedia Merdeka saya bilang ke dia, ‘Baca deh! So sweet...’, sambil menyorongkan buku ke arahnya. Setelah selesai dia mengembalikan buku itu lalu tersenyum. Saya juga ikut-ikutan senyum—orang gila!
Sekali lagi saya baca kalimat yang memesona itu:

'Kinanthi, bagiku Galaksi Cinta tidak akan pernah tiada. Ketika malam tak terlalu purnama, lalu kau saksikan bintang-bintang membentuk rasi menurut keinginan-Nya, cari aku di galaksi cinta. Aku tetap akan ada disana. Tersenyumlah... Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu.’

Sampai saya terima hadiah ini, saya belum kesampaian beli buku itu. Dan ternyata memang takdirnya buku itu menjadi hadiah untuk saya. Judul bukunya adalah Galaksi Kinanthi.


Sedih—saya menyadari—surat itu adalah yang terakhir.

Selamat menjadi: S

Selamat menulis Skripsi.
Selamat menempuh Sidang.
Selamat menjadi Sarjana.
Selamat menjadi calon Suami saya :) (lho?)

Thursday, March 3, 2011

...I hear, I see, I do

Apa yang memenuhi pikiran saya saat itu adalah kenapa saya nggak bisa ingat? Kenapa istilahnya pakai bahasa inggris? Dan kenapa saya tulalit bahasa inggris??? Sample space adalah... Random experiment adalah... axiomatic... deterministic... discrete... exhaustive... priori... postenon... Semua berkelebat dalam tempurung ini—yang tiba-tiba nge-hang—dan sinyal kuat yang dikirim ke seluruh tubuh segera melumpuhkan, dimulai dari mata yang memberat, menguap terlalu sering dan akhirnya saya mengantuk. Sambil menahan kantuk yang semakin menjadi, saya bertanya pada diri sendiri—kenapa saya nggak bisa menterjemahkan kata-kata itu? Padahal saya tahu maksudnya. Dan kenapa kalimat-kalimat Sang Dosen seperti suara sekumpulan lalat yang mengganggu? Kenapa otak saya tidak merespon??  Saking stress nya akhirnya dengan khusyuk saya berdoa. Supaya nggak kebagian ditunjuk Dosen—menjelaskan ulang arti kata-kata itu—dan mudah-mudahan nggak akan ada kuis hari ini. Karena sekarang saya pusing dan ngantuk. Titik.

Beberapa menit yang memuakkan, setor muka dengan tatapan seolah-olah mengerti sambil menahan kantuk dan menguap—yang menjadi amat sering. Di sisi lain Sang Dosen dengan wibawanya berbicara kepada seluruh hadirin dalam kuliah paginya. Entah darimana mulainya—karena ketidak fokusan saya—saya mendengar beliau kurang lebih mengatakan, “Ada pepatah Cina yang sangat indah.” Tiba-tiba seperti bunyi klik di kepala, otak saya merespon dan berbisik, “Itu sesi tie break, refresh, ayo dengarkan lebih seksama, pasti seru!” Seperti monolog saya mengiyakan, kemudian beliau melanjutkan, “Mungkin di kelas ini ada yang tahu? Tidak ada? Aaah—berjalan menuju papan tulis, mulai menulis—ini pepatah Cina yang sangat indah sekali”. Semua perhatian tertuju pada kata yang mulai ditulis Sang Dosen. Setelah selesai beliau berbalik. Dan dengan jeda yang pantas, beliau memberikannya kepada kami yang hadir di ruangan itu untuk melihat dengan utuh kalimat yang di goresnya.

            ‘I hear, I forget. I see, I remember. I do, I understand.’

Memang indah, ucapku dalam hati. Kemudian beliau kurang lebih berkata, 
“Kita bisa mendengar apa yang ingin kita dengar, tapi begitu cepat pula kita melupakannya. Kita juga bisa melihat sesuatu dan dengan melihat kita bisa mengingatnya. Apalagi kalau kita bisa mengaplikasikan ilmu atau sesuatu atau apa sajalah, kita akan tahu apa maksud dibalik semua itu. Dan yang terpenting adalah kita—menunjuk semua yang hadir—mengerti.”

Hening. Saya hening. Dalam hati saya bersyukur bisa mendengar sesuatu yang bermakna di sini, hari ini oleh Dosen yang selama ini mahasiswa takuti—kakak kelas takut dengan beliau, dan karena cerita dari mereka, kami juga ikut-ikutan takut. Tapi sekarang tidak. Beliau tidak seperti itu. Malah sangat baik hati. Akhirnya hari ini saya mendengar, melihat dan menyadari dibalik sikap tegas dan disiplinnya, ada hati yang tulus, bersih. Saya merasa sangat tolol sekali karena mengantuk sebelum ini. Ini—sekali lagi—belaian tangan Tuhan untuk hati hati kami. Kita jarang bersyukur dan kurang  memaksimalkan apa yang telah Tuhan beri. Telinga. Mata. Hati. Oh Ya Rabb...

Catatan:

Semua perkataan dosen adalah rekayasa saya. Saya lupa persisnya—karena saya bukan tape recorder. Dan yang tahu kejadiannya seperti apa pasti merasa kepingin muntah—ups... permisi, saya juga pingin muntah. Sebenarnya dosen saya bicaranya nggak gitu-gitu amat. Ahahaha...