Yarmuk Ketika panji elang muda berkibaran
Kuda yang dinaiki Khalid pun seolah merasakan aura
itu. Aura kemegahan sebuah pasukan. Di mana-mana berkibar panji elang muda dan
kedengaran tetabuhan perang. Tuan yang kini duduk di atas punggung kuda itu
adalah panglima nan perkasa. Kata-katanya sekuat karang, energinya segelombang
samudra, taktiknya setajam pedang.
Khalid menghela kudanya menuju Abu 'Ubaidah, sementara
di kejauhan pasukan Romawi telah berkumpul di lembah sempit dengan pongah. Di
tangan mereka pedang dan terompet-terompet yang bunyinya menyaingi petir.
Kuda Khalid telah begitu dekat dengan kuda Abu
'Ubaidah. Keduanya bersisihan ketika Khalid mengatakan apa yang hendak dia
sampaikan. "Aku akan memerintahkan sesuatu."
Abu 'Ubaidah mengangguk takzim. "Katakan apa yang
Allah perintahkan kepadamu. Aku akan mendengar dan mematuhi."
"Romawi memiliki pasukan yang tak
terbendung." Khalid menatap kejauhan. Ke arah gereombolan lawan. "Aku
menghawatirkan bagian kanan dan kiri. Aku mempunyai pendapat untuk memecah
pasukan berkuda kita menjadi dua bagian; keduanya akan kuletakkan di bagian
belakang pasukan. Sebelah kanan dan kiri, sehingga jika musuh menyerang, mereka
masih memiliki bantuan. Kita akan datang di belakang mereka."
Abu 'Ubaidah tersenyum cemerlang. "Alangkah
brilian idemu, Khalid."
"Aku perintahkan engkau untuk berada di bagian
belakang pasukan, Abu 'Ubaidah." Khalid menatap lurus ke titik mata Abu
'Ubaidah, "Paling belakang. Sehingga jika ada aggota pasukan kita yang
menyerah dan hendak lari ke belakang, mereka melihat dirimu. Dengan begitu
mereka akan malu kepadamu dan kembali ke medan perang."
Abu 'Ubaidah mengangguk lagi. Masih tersenyum.
Batinnya kian menyukai mengapa khalifah begitu yakin dengan kepemimpinan
Khalid. Orang ini dilahirkan untuk menjadi pemenang. Khalifah Abu Bakar sungguh
jeli. Nmaun, mengapa tak satu kabarpun datang dari Madinah? Biasanya khalifah
begitu rapat menjaga perbincangan surat dengan para panglima di medan perang?
Abu 'Ubaidah menyingkirkan segala keresahan batinnya.
Dia lalu menuruti apa yang diperintahkan Khalid. Kudanya melaju ke bagian
belakang. Ketika melintasi pasukan yang kini tengah menghitung saat-saat turun
ke medan laga. Abu’Ubaidah berpapasan dengan Sa’id bin Zaid. “Zaid, aku akan
berada di belakang pasukan sesuai perintah Khalid. Engkau jagalah pasukan di
tengah.”
“Akan kulaksanakan.” Tangan Zaid mengepal penuh
semangat. “Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar!”
Abu ‘Ubaidah meneruskan laju kudanya meluncur ke
bagian belakang pasukan. Bersamaan dengan Abu ‘Ubaidah, Khalid yang tadi
memerintahnya untuk bertempur ke belakang ternyata menyusulnya. Kedua pemimpin
itu memacu kudanya untuk bertempur ke belakang. Saling tatap dan member
semangat. Takbir ada di bibir dan hati mereka. Lantang sama kencangnya.
Sampai di barisan paling belakang, Abu ‘Ubaidah segera
mengatur barisan, sedangkan Khalid terus meluncur ke belakang, ke barisan
perempuan. Para perempuan di medan perang. Mereka adalah para istri, perawat
luka, atau penabuh rebana untuk menyemagati para tentara.
Khalid menuju mereka. Kudanya berhenti persis di
barisan para perempuan itu. Para perempuan yang melengkkapi diri mereka
denganpedang, tombak, tongkat, besi, kayu, dan batu. Tak hanya kaum laki-laki,
mereka pun siap untuk mati.
Setelah bertakbir, Khalid lantang bersuara. “Siapa
saja yang kalian lihat melarikan diri, pukullah dengan batu, tongkat, dan kayu
ini sampai dia kembali.” Khalid menyebarkan semangat lewat tatapan matanya.
“Jika mereka tidak mau kembali, bunuhlah!”
Gemuruhlah jawaban perempuan.
“Serahkan kepada kami!”
“Kami akan melaksanakan perintahmu!”
Satu suara yang lebih kencang disbanding lainnya
adalah milik Khaulah binti Tsa’labah. Teriakan sekencang kibasan pedang. “Tidak
aka nada seorang pun yang melarikan diri dari pertempuran akan bebas dari
pedang kami!”
Khalid puas dengan jawaban mereka, lalu menghela
kudanya, kembali ke barisan terdepan. Telah serupa gegap gempita di berbagai
bagian barisan. Abu ‘Ubaidah yang telah bersiap di barisan belakang berteriak
dengan penuh semangat. “Wahai para hamba Allah, tolonglah agama Allah, Dia akan
menolong kalian dan mengukuhkan pendirian kalian.”
Suara Abu ‘Ubaidah tenggelam dalam gegap gempita meski
masih ada yang mendengarkannya. “Wahai umat Islam, sabarlah karena kesabaran
itu adalah penyelamat dari kekufuran, memuaskan hati, menolak aib. Janganlah
kalian meninggalkan barisan kalian! Janganlah melangkah ke arah mereka!
Janganlah mendahului mereka berperang.”
Dua pasukan telah nyaris bertemu. Ujuang pasukan
Romawi dan pasukan terdepan Islam telah berhadap-hadapan. Abu ‘Ubaidah tak
menghentikan kalimat perwiranya. “Lepaskanlah anak-anak panah, berlindunglah
dengan tameng kulit dan berzikirlah kepada Allah!”
Pada bagian pasukan lain, suara ‘Amr bin ‘Ash melaju
ke udara. Dia yang pandai berorasi dan berdiplomasi. “Wahai umat Islam.
Tundukkanlah mata kalian, tunggangilah kendaraan kalian, dan lepaskanlah
anak-anak panah kalian. Jika mereka menyerang, tunggulah hingga mereka tiba di
dekat kalian, hantamlah mereka dengan dahsyat!”
Gelombang pasukan telah siap untuk bertumbukan. ‘Amr
masih meneriakkan kalimatnya. “Demi Zat yang menyukai kejujuran, member pahala
untuknya, membenci kebohongan, dan membalas kebaikan dengan kebaikan, sungguh
aku mendengar bahwa umat Islam akan menaklukan orang kafir seorang demi
seorang, istana demi istana.”
Pedang ‘Amr teracung. Musuh telah tampak di ujung.
“Janganlah kalian gentar melihat perkumpulan dan jumlah mereka. Sebab,
seandainya kalian menggempur mereka dengan kuat, mereka akan beterbangan,
seperti burung-burung lemah beterbangan.”
Yazid bin Abu Sufyan berkendara member semangat
pasukannya. “Allah! Allah! Kalian adalah suku Arab dan penolong Islam. Mereka
bangsa Romawi dan penolong kesyirikan. Demi Allah, ini adalah hari di antara
hari-hari besar-Mu. Ya Allah, turunkan pertolongan-Mu kepada hamba-hamba-Mu!”
Terus bergelombang teriakan para komandan yang
membakar semangat pasukannya. Tak putus–putus hingga terangkat pedang oleh
karena keberanian dan keperwiraan.
Khalid yanga da di barisan terdepan menunggu siapa pun
yang mewakili tentara Romawi memulai pembicara an sebelum peperangan. Seseorang
maju sambil masih duduk di atas kudanya. Khalid melakukan hal serupa. Keduanya
lantas bertemu di tengah-tengah dua pasukan.
Diakah Bahan yang terkenal?
Sosok tentara Romawi yang tak lagi menyerupai manusia.
Seluruhnya badannya nyaris tertutup baja berat. Berkilauan ditimpa cahaya.
Penutup kepala, dada baja, hingga penutup kaki yang serba besi.
Ketika Khalid telah begitu dekat dengannya, tersingkap
wajah di balik tutup kepala baja itu. “Sungguh, aku tahu apa yang menyebabkan
kalian keluar dari negeri kalian. Bukankah itu adalah kesulitan hidup dan
kelaparan. Jadi, marilah aku akan member setiap orang dari kalian sepuluh dinar,
pakaian, dan makanan. Kalian kembalilah ke negeri kalian. Tahun depan, aku akan
mengerimkan kepada kalian sejumlah itu lagi.”
Penghinaan. Namun, Khalid tahu bagaimana sebuah
penghinaan mesti ditanggapi. Dia tertawa hingga berguncang punggungnya. “Sesungguhnya,
bukanlah apa yang kalian sebutkan yang menyebutkan kami keluar dari negeri
kami. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang suka minum darah!”
Khalid terlihat amat menikmati kalimatnya barusan. Dia
membalas hinaan dengan cemoohan. “Ada berita yang sampai kepada kami bahwa
tidak ada darah yang lebih baik dari darah orang Romawi” Tatapan Khalid
mengilat. “Kami datang untuk itu.”
Tertawa lagi. Khalid kemudian meninggalkan Bahan tanpa
kalimat tambahan. Dia kembali kepada
pasukannya. Memacu kudanya ke bagian tengah barisan. Di sana dia
bertatap muka dengan ‘Ikrimah dan Qa’qa’ meneriakkan takbir lalu keluar dari
barisan. Pedang mereka teracung kea rah lawan, memberikan tantangan.
Jagoan Romawi maju, berduellah mereka kemudian.
‘Ikrimah dan Qa’qa’ adalah petarung tangguh. Pedang-pedang mereka berkelebat
dan membabat seolah memiliki nyawa sendiri. Bergerak cepat dan mematikan. Hanya
dalam beberapa hantaman, jagoan Romawi segara terkapar.
“Serbuuuuuuuuuuu!” Bahan yang ada di tengah barisan
tak mau mental pasukannya merosot aoleh kekalahan dalam duel pemanasan itu.
Segera dia turunkan perintah untuk menyerang. Maka, gelombang pasang pasukan
Romawi yang jumlahnya menutup daratan menyerbu pasukan muslim dengan segala
kekuatan.
Bertumbukan dua kekuatan yang sama-sama menginginkan
kemenangan. Sinar matahari memantul pada permukaan baju-baju besi yang
berkilatan. Debu berduel dengan darah menyemburi mata dan tenggorokan. Teriakan
kematian dan jeritan kesakitan telah teramat sulit dibedakan.
Darah pertama tertumpah, tumpang-tidih dengan
tubuh-tubuh yang segera bergelimpangan tanpa nyawa. Macam-macam tingkah laku
mereka yang menghadapi kematian. Sebagian berteriak kencang, ada juga yang
mengulas senyum kemenangan, atau mati begitu saja, tanpa suara.
Abu ‘Ubaidah masih bersiap dengan pedangnya. Dia
berada di barisan paling belakang sehingga berhadapan dengan lawan harus
menunggu giliran. Pada saat itu seorang dari barisan berkuda menghampirinya.
“Wahai Abu ‘Ubaidah. Aku telah siap mati. Apakah engkau ada kebutuhan kepada
Rasulullah?”
Orang ini. Kematian bukan apa-apa baginya. Hnya pintu
yang menghubungkan dua dunia. Dia di dunia fana dan orang-orang tercinta di
dunia satunya. Dia telah siap membuka pintu dan yakin nabinya ada di sebalik
pintu itu.
Abu ‘Ubaidah tersenyum cerah menyambut lelaki itu.
“Iya. Sampaikan salam dariku untuk beliau dan katakan. ‘Ya Rasulullah, aku
telah mendapatkan apa yang dijanjika Tuhan kami’.”
Sang tentara berkuda mengangguk. Dia lalu meluncur
kedepan, menyongsong lawan. Pedang di tangan kanan dan tobak di tangan satunya.
Menembus barisan Romawi sementara kedua senjatanya mengayun ke sana-sini. Di
belakangnya, pasukan berkuda Islam menyusulnya. Keributan yang tiada
bandingnya.
Pedang dan tombak mereka menebas banyak kepala. Sebaliknya,
pedang lawan pun mengoyak tubuh mereka. Hingga setelah sekian lawan roboh tanpa
jiwa, tentara yang dititipi pesan oleh Abu ‘Ubaidah itu terlontar dari kudanya,
sementara di dadanya menancap anak panah, di bahunya menebbas pedang. Namun,
baginya kematian benar-benar bukan apa-apa. Hanya sebuah pintu yang memisahkan
dunia fana dengan dunia satunya.
Sesiangan dipanggang matahari dan pedang-pedang lawan,
sebagian pasukan Islam dan Romawi sama-sama merasakan lelah dan jerih yang
merajalela. Keadaan yang berujung pada kalimat ‘perang ini untuk siapa?’. Maka
mereka yang tak berjiwa perwira lalu membalikkan badan dan mencari peluang
untuk lari dari pertempuran.
Namun, pedang dan batu yang mereka temui. Di barisan
belakang, baik dalam pasukan Islam maupun Romawi, para perempuanberpedang
menghadang. Tangan mereka melemparkan batu, pedang mereka mengumbar ancaman.
Di barisan perempuan Islam, Khaulah berteriak lebih
kencang dibanding yang lain, mengayun pedang lebih kencang dibanding yang lain.
“Wahai yang lari dari wanita-wanita bertakwa! Sebentar lagi kalian akan melihat
tawanan!”
Melihat tawanan! Itu sama saja dengan sebuah janji
kemenangan. “Ayo para perempuan bertakwa, lecut para lelaki kalian kembali ke
medan pertempuran!”
Maka tak ada pilihan bagi para tentara yang tadinya
mau kabur dari pertempuran mereka. Daripada mati di tangan para perempuan,
mereka lagi-lagi berbalik kanan. Menghadang lawan, menyarangkan pedang. Jika
mati tak ikut serta rasa malu, jika menang akan banyak datang keuntungan.
Yazid bin Abu Sufyan bertempur tanpa berfikir akan
hidup atau mati. Pedangnya amat kuat menembus pertahanan lawan. Membuat
ruang-ruang di antara tubuh-tubuh bertameng baja yang mengepungnya. Pasukan di
belakang Yazid segera menyerbu. Mengikuti langkah Yazid, membuat lawan
porak-poranda.
Khalid yang muncul dari belakang pasukan menerabas
barisan lawan. Mengepung mereka yang terjepit antara dia dan Yazid. Telah
terlewati waktu sehari. Korban bergelimpangan, hingga kaki-kaki susah mencari
pijakan tanah. Darah bercampur debu dan mayat.
Menjelang malam, ketika cahaya tinggal temaram,
pertempuran mereda dengan sendirinya. “Kita beristirahat! Waktunya
beristirahat!” Khalid berteriak lantang diteruskan oleh para komandan. Hal sama
dilakukan para komandan pasukan Romawi. Waktunya menghitung jumlah pasukan yang
tersisa.
*
“Bawa semua yang terluka ke barisan belakang.” Khalid
memeriksa setiap lapis pasukannya. “Biarkan para perempuan merawat luka
mereka.”
Didampingi Abu ‘Ubaidah, Khalid berkeliling barisan
pasukan. Memeriksa keadaan, memastikan masih menyala semangat di setiap dada.
Telah gelap suasana ketika seseorang dari barisan depan pasukan mendekati
Khalid dan Abu ‘Ubaidah.
“Wahai Khalid. Seorang komandan Romawi ingin menemui
dirimu.”
Khalid menoleh. “Peperangan dilanjutkan besok. Untuk apa dia
mencariku?”
“Dia bernama Jarjah dan ia ingin mengajakmu berdiskusi.”
Abu ‘Ubaidah menepuk bahu Khalid. “Barangkali dia mengetahui apa
yang orang-orang Romawi tidak ketahui.”
Khalid menoleh ke Abu ‘Ubaidah sembari mengangguk. “Aku akan
menemui orang itu. Sementara aku serahkan kepemimpinan pasukan kepadamu.”
Gantian Abu ‘Ubaidah yang mengangguk. Khalid lalu menghela kudanya
perlahan menuju ke depan barisan. Di antara dua pasukan, telah menunggu
seseorang di atas kudanya. Dia seorang komandan paling mahir dan paling berani
di antara para komandan pasukan berkuda Romawi. Lama tinggal di Syam, dia
mendengar banyak hal mengenai Khalid dan kini ingin berbicara kepadanya.
Komandan Romawi itu bernama Jarjah. Bahkan Bhan, sang panglima, teramat
mengandalkannya.
Khalid maju perlahan, hingga benar-benar berhadapan dengan Jarjah.
Leher kudanya bersentuhan dengan leher kuda Jarjah. Sebelum Khalid berkata apa
pun, lelaki itu telah lebih dulu berkata-kata. “Wahai Khalid. Jujurlah kepadaku
dan janganlah berdusta karena orang merdeka tidak perlu berdusta. Jangan
menipuku, sebab orang yang terhormat tidak menipu.”
Jarjah menatap tegas ke wajah Khalid. Bahasa Arabnya fasih meski
aksennya sungguh asing di telinga. “Demi Tuhan, apakah Tuhan menurunkan pedang
dari langit kepada nabimu dan memberikannya kepadamu sehingga setiap engkau
menghunuskannya kepada suatu kaum engkau akan menghancurkannya.”
Malah Khalid yang keheranan dengan pertanyaan Jarjah. Dia
menggeleng. “Tentu tidak.”
“Lalu mengapa engkau disebut Pedang Allah?”
Senyum yang susah ditebak maknanya melintangi bibir Khalid.
“Sesungguhnya, Allah mengutus nabi kami lalu menyeru kami dan kami lari darinya
serta menjauh semuanya. Kemudian sebagian dari kami ada yang membenarkannya dan
ada yang memusuhinya dan ada yang mendustakannya. Aku termasuk orang yang
mendustakan, menjauhi, dan memeranginya.”
Khalid memeriksa ketangguhan Jarjah melalui tatapan matanya.
Apakah orang ini serius bertanya atau hanya bermain-main saja? “Kemudian Allah
menerangi hati kamu, member kami petunjuk lalu kami mengikutinya. Kemudian
beliau berkata kepadaku. ‘Engkau adalah pedang dari pedang-pedang Allah yang
Allah hunuskan kepada orang-orang musyrik dan munafik’.”
Jarjah terdiam untuk menyimak kata dan bahasa tubuh panglima
dihadapannya. Mungkin dia mengerti ilmu tentang manusia atau karena sudah
banyak bertemu dengan macam-macam orang, maka dia merasa Khalid tidak berdusta
terhadapnya. “Engkau telah berkata jujur.” Tersenyum hormat. “Engkau menyeru
apa kepada mereka wahai Khalid?”
Menegak badan Khalid. “Untuk mengucapkan kalimat, ‘Tiada Tuhan
selain Allah serta Muhammad adalah hamba dan utusan Allah,’ dan untuk mengakui
apa yang beliau bawa dari sisi Allah.”
“Jika mereka tidak menerima?”
“Mereka harus membayar pajak dan kami akan melindungi mereka.”
“Jika mereka tidak mau membayar pajak?”
“Kami akan memerangi mereka.”
Jarjah diam beberapa saat. Banyak pertanyaan berkelidan di
kepalanya. “Lalu apa kedudukan orang yang masuk agama kalian dan menerima agama
kalian saat ini?”
Khalid pun tahu, pertanyaan Jarjah akan beranak-pinak. “Kedudukan
mereka sama dalam apa yang Allah wajibkan kepada kami, baik orang yang mulia
maupun yang hina, yang pertama dan yang terakhir.”
Hari kian gelap. Sedangkan di antara kaki-kaki kuda Khalid dan
Jarjah, aroma anyir dan busuk mulia mendesak udara. Di belakang Khalid juga di
belakang Jarjah, para tentara kian sibuk berbagi tugas. Menyiapkan perang hari
selanjutnya, juga mengobati mereka yang luka.
Jarjah masih penasaran rupanya. “Apakah orang yang baru masuk
Islam itu bisa mempunyai pahala dan keutamaan seperti kalian, Khalid?”
Khalid mengangguk. “Bahkan lebih utama!”
Mengerut dahi Jarjah. “Bagaimana mereka bisa menyamai kalian,
sedangkan kalian mendahului mereka?”
Napas berat keluar dari dada Khalid. Teringat dia akan Sang Nabi.
Seperti juga setiap sahabat merasa dadanya sesak setiap mengenang nabi mereka.
“Kami masuk Islam dan membaiat Nabi ketika beliau masih hidup di tengah-tengah
kami. Wahyu dari langit masih turun.”
Terdengar beda nada suara Khalid. Penuh ketakziman. “Beliau
memberitahukan kepada kami Al-Quran dan menunjukkan dan menunjukkan tanda-tanda
kenabiannya. Pantas bagi orang-orang yang melihat apa yang kami lihat dan
mendengar apa yang kami dengar untuk masuk Islam dan membaiat.”
Khalid menatap Jarjah dengan kesungguhan. “Sedangkan kalian tidak
melihat apa yang kami lihat dan tidak mendengar apa yang kami dengar tentang
keajaiban dan bukti kebenaran kenabiannya.” Mengeras suara Khalid. Tegas dan
jelas. “Jadi, siapa di antara kalian yang masuk ke dalam golongan kami dengan
sungguh-sungguh dan niat yang baik, mereka lebih utama daripada kami.”
Jarjah tampak kagum dan takjub dengan cara Khalid menjawab
pertanyaannya dan keseriusan jawabannya. “Demi Tuhan engkau jujur kepadaku dan
tidak menipuku.”
“Demi Allah, aku jujur kepadamu. Aku tidak punya kepentingan
denganmu.”
“Engkau jujur kepadaku.”
Jarjah sedikit membungkukkan badannya. “Sudah waktunya kembali ke
pasukan. Sampai bertemu di medan perang, Khalid.”
Khalid membalas penghormatan Jarjah. “Sampai jumpa di medan
pertempuran.”
Keduanya lantas menghela tunggangannya masing-masing. Balik kanan,
lalu saling menjauh satu sama lain.
Novel Biografi Muhammad, Para Pengeja Hujan, Tasaro GK. Bab 77 hlm 632.
No comments:
Post a Comment