imhappyforyou

Saturday, December 31, 2011

Thaif, hari yang meranggas, 619 Masehi



Engkau melakukannya, wahai Lelaki yang di Hati dan Lidahnya Tak Pernah Ada Dusta.

Menaiki Untamu, engkau mendaki Thaif sendirian. Engkau tahu, Thaif adalah sebuah kota perdagangan di atas bukit yang subur dan makmur. Orang-orang Quraisy yang kaya memiliki rumah-rumah musim panas di pusat keramaian yang dijuluki kota Al-Lata itu. Orang-orang Quraisy yang tinggal di sana adalah barisan pertama penentang agamamu.
Sekarang, engkau justru mendatangi kota penentangmu itu. Makkah benar-benar telah demikian mendesakmu untuk melakukan apa saja. Secuil kemungkinan apa saja. Thaif dikelilingi tembok di atas bukit. Jalan dari Makkah melalui perbukitan cadas yang memberi pilihan, tebing curam atau jurang.

Langkah menuju ke sana saja sudah demikian menyiksa tubuhmu. Di bawah terik matahari Hijaz, seolah Thaif memperoleh keberkahan yang demikian spesial. Tanahnya subur, menjadi tempat bertumbuh berbagai buah-buahan dan jagung.

Vila-vila musim panas bertebaran memberi sebuah pemandangan kontras antara bukit dan jurang. Engkau hendak menemui para kepala suku Tsaqif yang berkuasa di Thaif dan engkau berharap mereka mau mengikuti ajakanmu untuk masuk islam dan memberimu perlindungan supaya dakwahmu masih bisa bertahan. Agar serangan orang-orang terhadapmu terhenti sekarang juga.

Engkau mendatangi orang pertama dari tiga pemimpin itu dengan harapan yang penuh. Engkau berikan senyummu lalu berkata dengan hati-hati dan penuh kesopanan. Engkau menyampaikan kabar gembira itu. Menganai Tuhan dan ampunan-Nya yang begitu luas. Mengenai Islam dan kedalaman ajarannya yang membawa kedamaian. Tentang dirimu yang diutus untuk menyampaikan kabar gembira itu.

"Jika Tuhan benar-benar mengutusmu, aku akan meruntuhkan Ka'bah!' kata salah seorang dari tiga pimpinan Tsaqif itu setelah engkau menyelesaikan kalimatmu.

Itu sebuah penolakan. Engkau pun tahu. Maka, dengan langkah yang masih digelayuti keyakinan akan pertolongan Allah, engkau meninggalkannya dan mendatangi pemimpin Tsaqif yang kedua. BaraNgkali disanalah peruntunganmu. Mereka yang akan membisikkan kebaikan ke telinga pemimpin Tsaqif kedua, sehingga mau menerima pesan-pesan keagamaan yang engkau bawa.

"Apakah Tuhan tidak mendapatkan orang selain dirimu untuk menjadi Rasul-Nya?" ejek pemimpin Tsaqif yang kedua.

O, alangkah keras hati mereka. Engkau ditolak untuk kali kedua. Kata-katamu tak bersinar di hadapannya. Seolah engkau mengatakan hal yang sia-sia. Engkau meninggalkan pemimpin Tsaqif kedua dan menaruh harapan kepada lelaki terakhir dari tiga pemimpin kaum pengasa Thaif itu. Entah kepada siapa lagi hendak engkau mencari bantuan jika pemimpin yang ketiga pun menolakmu.

Engkau mendatanginya dengan cara yang sama, tetapi dengan hati yang barangkali lebih siap untuk kemungkinan apapun. Engkau bertamu lalu mengutarakan maksud kedatanganmu.

"Kami tidak ingin berbicara denganmu!" kata lelaki terakhir pemimpin Tsaqif. Tidakkah itu menyedihkan hatimu? "Karena, seandainya engkau utusan Tuhan seperti yang engkau katakan, engkau terlalu mulia bagiku, dan seandainya engkau berbohong, tidaklah pantas aku berbicara kepadamu."

Gagal. Kata-katamu yang senantiasa menembus hati pendengarnya tidak berhasil disini. Tiga pemimpin Tsaqif itu menolakmu bahkan mengejek misimu. Di kota berbukit itu kemana lagi hendak engkau langkahkan kaki?
Toh, engkau tetap berjalan wahai Lelaki Tegar Hati. Engkau tak menyerah dan yakin, pertolonngan Tuhanmu akan turun secepat sambaran kilat. Engkau baru saja hendak meninggalkan rumah pemimpin Tsaqif terakhir ketika teriakan-teriakan mengejarmu dari belakang.

Engkau segera tahu apa yang sedang terjadi. Budak-budak itu di suruh oleh tuannya untuk menyerangmu, mengusirmu dengan cara kasar dan tidak bermartabat. Engkau segera menaiki untamu dan melarikannya dengan kencang. Tidak hanya para budak, orang-orang yang tak tahu urusan pun bergabung mengejarmu, menghinakanmu. Mereka benar-benar hendak menyakitimu.

Alangkah yang engkau alami ini begitu memilukan hatimu, wahai Lelaki Lembut Hati. Engkau buru-buru memasuki perkebunan yang agak jauh dari rumah penguasa Tsaqif tadi. Tahukah engkau bahwa kebun yang engkau masuki dimiliki oleh keluarga Quraisy? Itulah mengapa para pengejarmu bubar begitu engkau memasuki kebun subur yang segar dipandang itu.

Mereka yang memiliki perkebunan itu adalah 'Utbah dan Syaibah dari suku 'Abd Syams. Keduanya bahkan menyaksikan hal yang bagi mereka sungguh memalukan. Seorang keturunan Quraisy sepertimu dikejar-kejar orang-orang Tsaqif.
Mereka duduk dipinggir kebun sementara engkau mengikat untamu di batang pohon kurma lalu berlindung di bawah pohon anggur yang merambat rindang. Engkau duduk di bawah bayangan rindang pohon berbuah manis itu. 

Apakah engkau tengah menikmati keperihan hatimu? Tidakkah engkau merasa hidupmu menjadi begitu susah? Engkau yang menawarkan cara hidup yang rapi, taat, dan lebih berarti dihinakan seburuk ini. Dikejar-kejar seperti kriminal, diteriaki seolah engkau lelaki paling hina di muka bumi.

Apakah engkau dalam diammu itu membayangkan masa-masa damai dulu? Ketika engkau hidup panjang bersama Khadijah dengan limpahan kebahagiaan. Dua puluh lima tahun penuh cinta dan suara anak-anak. Dukungan Khadijah yang senantiasa berlimpah. Jiwanya, hartanya, dan pengaruhnya menyatu dengan wibawamu. Menyantuni fakir miskin, bertindak penuh kehormatan, dan menjadi pasangan suami istri yang terpandang. Alangkah dulu tak seorang pun berani merendahkanmu.

Atau engkau sedang mengingat-ingat pamandamu, Abi Thalib? Dia yang senantiasa bisa mengusir segala bentuk bahaya dari sekelilingmu. Mengenyahkan ancaman apapun yang mengintip hidupmu.

Apapun yang engkau pikirkan, tetapi engkau tampak tetap tabah dan terjaga. Sesedih apapun hatimu, tampaknya engkau tetap memilih sahabat terbaik dalam kelapangan maupun keterdesakan. Apakah engkau sedang mengajak-Nya berbicara sekarang?

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengeluhkan keimananku, ketidakberdayaanku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi. Engkau Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapa Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam terhadapku atau kepada musuh yang Engkau takdirkan akan mengalahkanku?"
"Hal itu tidak akan aku risaukan, jika Engkau tidak murka kepadaku. Namun rahmat-Mu bagiku amat luas. Aku menyerahkan diri kepada cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan dan menentukan kebaikan urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung dari murka-Mu. Aku senantiasa mohon ridho-Mu karena tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan-Mu.'

Sementara engkau sedang membisiki Tuhanmu dengan kata-kata yang lemah lembut tetapi bertenaga, pasrah tetapi penuh keyakinan, dua orang Quraisy pemilik perkebunan itu berbincang mengenai dirimu.

Mereka terakhir melihatmu saat pemakaman Abi Thalib. Bagaimanapun nyeri hati mereka melihat seorang keturunan Quraisy sepertimu berada dalam kondisi itu. Sendirian tanpa perlindungan klan yang menjamin keamanan. 'Utbah kemudian memanggil nama seseorang.

Orang yang dipanggil dengan satu teriakan itu adalah seorang anak muda berambut keriting, tinggi, berbadan liat, dan tegap. Dia seorang budak bernama Addas. "Petiklah setangkai anggur, letakkan di nampan dan berikanlah kepada lelaki itu" 'Utbah menunjuk ke arahmu. "Persilahkan dia memakannya."

Tak perlu disuruh dua kali, Addas tahu apa yang harus dia lakukan. Dia segera mengambil nampan lalu memetik setangkai anggur paling baik, kemudian menghampirimu yang masih termangu dalam kesendirian dan kesepian.

"Silakan makan, Tuan."
Addas menghampirimu dan tidak mengucapkan basa-basi apa pun. Tugasnya adalah memberimu setangkai anggur, maka itu yang dia lakukan. Engkau tersenyum. Memberikan ekspresi terbaik untuk berterima kasih sekaligus memberikan pesan persahabatan yang dalam.

Tanganmu mengulur, memetik sebutir anggur, lalu mendekatkannya ke mulutmu. "Dengan nama Allah," katamu sebelum mengunyah buah segar itu.

Addas tampak terpesona. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ada sesutu darimu yang membuatnya demikian takjub dan nyaris kehilangan kata-kata. " Kalimat itu tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini."

Apakah engkau segera menemukan sebuah keistimewaan pada diri pemuda di depanmu, wahai Lelaki yang Selalu Ingin Memberi? Tidak setiap hari ada orang memperhatikan caramu memulai sebuah santapan. "Dari negeri manakah engkau berasal dan apa agamamu?"

Addas nampak sumringah. "Agamaku Kristen," ucapnya. "Aku berasal dari Niniveh."

Engkau menatapnya semakin seksama. Addas memang istimewa. Apakah engkau merasa dia menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk menghibur hatimu? "Niniveh, kota tempat asal seorang hamba yang saleh, Yunus putra Matta."

Membeliak mata Addas. Bukan karena kemarahan, tetapi oleh ketakjuban, ketidakterdugaan.  "Dari mana engkau mengenal Yunus putra Matta?"

Engkau tersenyum, suaramu lembut dan menyejukkan. "Dia adalah saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku pun seorang nabi."

Gemetaran tubuh Addas kemudian. Dia buru-buru meletakkan nampan anggurnya kemudian memelukmu dengan kuat. Seperti seorang sahabat yang berpuluh tahun berpisah lalu bertemu dalam suasana terbaik. Seperti seorang hamba sahaya yang ingin berterima kasih kepada majikannya yang baik budi. Addas melepaskan pelukannya lalu menciumi kepala, tangan, dan terakhir kedua kakimu.

Di pinggir kebun, dua majikan Addas berseru penuh kekagetan. Mereka mengamati adegan itu sejak wal. Seruan mereka seperti dua orang yang baru saja menyaksikan adegan paling tidak masuk akal sepanjang sejarah. "Begitu besar perlakuan budakmu," kata Syaibah.

Keduanya tak sabar menunggu kembalinya Addas dari tempat mu berteduh. Mereka menunggu beberapa lama sampai pemuda itu benar-benar ada di hadapan mereka. 'Utbah buru-buru menghardiknya, "Keterlaluan engkau, Addas! Apa yang membuatmu menciumi kepala, tangan, dan kaki lelaki itu?"

Addas menundukkan kepalanya. Dia tahu, berkata jujur dan menaati majikan bisa menjadi dua hal yang berbeda. "Tuan, tidak ada manusia yang lebih baik dibanding dirinya di muka bumi ini. Dia telah mengatakan kepadaku sesuatu yang hanya diketahui oleh seorang nabi."

'Utbah berkacak pinggang. "Keterlaluan engkau. Addas! Jangan sampai ia mempengaruhi agamamu karena agamamu lebih baik daripada agamanya."

Addas tidak menjawab. Dia menggerakkan kepalanya sedikit. Melihat ke jalan setapak yang mengantar siapa pun ke luar Thaif. Dua majikannya memandang arah yang sama, tetapi dengan cara berbeda. Addas berharap masih bisa melihat bayanganmu meski hanya titik hitam yang bergerak meninggalkan Thaif, sementara kedua majikannya barangkali kebingungan karena di tengah ketidakberuntunganmu, engkau masih mampu membuat perubahan pada seseorang.

Boleh jadi, dua majikan Addas itu seperti juga para Quraisy lainnya, mulai khawatir, suatu saat, apa yang engkau lakukan bisa membahayakan posisi mereka di Thaif.

—  Tasaro GK, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan (BAB 49 Pemuda Kristen Pembawa Anggur hlm 351) 

“Jika kisahmu diulang seribu tahun setelah kepergianmu, maka mereka yang mencintaimu akan merasakan kehilangan yang sama dengan para sahabat yang menyaksikan hari terakhirmu, wahai Lelaki yang Cintanya Tak Pernah Berakhir. Mereka membaca kisahmu, ikut tersenyum bersamamu, bersedih karena penderitaanmu, membuncah bangga oleh keberhasilanmu, dan berair mata ketika mendengar berita kepergianmu. Seolah engkau kemarin ada di sisi, dan esok tiada lagi.”

― Tasaro GK, Muhammad 2: Para Pengeja Hujan

No comments:

Post a Comment